Dan
aku masih diam sembari menatapmu, betapa tenang ketika kau datang, betapa
membahagiakan saat kita harus bersilang jalan. Kala itu ku beranikan untuk
tidak lari apapun resikonya, aku hanya ingin melihatmu, merasakan betapa
teduhnya setiap tetes yang jatuh menyentuh jemari tanganku. Meski kau tetaplah
seperti itu, jatuh berderup bersama kilatan cahaya yang membelah langit, aku
tidaklah takut. Meski aku berteriak berkali-kali, suara mu tetap saja seperti
itu malah semakin kencang sembari mengguyur tubuhku yang kedinginan. Kau selalu
seperti itu, diam meski kerap kali ku nyatakan perasaanku.
Bersama angin kau
berlari semakin kencang, tapi larimu tidaklah jauh. Aku berjalan diantaramu,
aku suka karena ketika aku harus berteriak berkali-kali, menangis berkali-kali
tak ada seorang pun yang memperhatikannya. Orang-orang banyak menghindarimu,
mengurung diri dirumah sembari menikmati lagu. Aku tidak, aku bukan mereka.
Seandainya tak harus memikirkan kesehatan, aku pasti selalu keluar tiap kali kau
datang. Aku memikirkan kondisi tubuhku, aku gampang flu maka dari itu aku
jarang menyapamu. Tapi hari itu ku beranikan diriku, seperti waktu kecil dulu, ekspresi
bahagia yang tak terkira ketika bermain-main denganmu, meski ketika pulang
kerumah disambut dengan mama yang marah-marah. Aku rindu saat itu, meski
keesokan harinya hidungku memerah dan suhu tubuhku diatas rata-rata.
Sekali
lagi aku nyatakan perasaanku, meski akhirnya kau tetap seperti itu. Berkali–kali
kau acuhkan, pada akhirnya membuatku menyerah juga. Kau pergi tanpa mengucapkan kata pisah.
Hujan, kau pergi menyisakan keheningan sore dikala itu.
Catatan Gadis Biasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar